Menghindari Fanatisme Buta Demi Pemilu 2024 yang Kondusif  
Ilustrasi pendukung fanatik. (Source: Freepik) /

RUMAH PEMILU – Iklim politik Indonesia mulai menghangat seiring datangnya Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Di ajang tersebut, bukan presiden dan wakil presiden saja yang dipilih, melainkan juga kepala daerah dan anggota legislatif.

Meski bukan masa kampanye, baliho-baliho bermuatan identitas partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024 beserta kandidat yang diusung berikut visi dan misinya sudah terpampang di jalan-jalan.  

Media sosial (medsos) yang menjadi alternatif media propaganda di dunia nyata pun turut ramai dengan unggahan-unggahan para tokoh politik peserta ajang kontestasi tersebut. Tujuannya, untuk mendongkrak elektabilitas.  

Di sisi lain, para pendukung telah bersiap untuk menyukseskan tujuan dari parpol ataupun tokoh politik tersebut.

Fanatisme buta

Bicara dukungan, tak akan jadi masalah jika dilakukan secara baik tanpa menyenggol lawan, serta atas dasar rasionalitas, bukan fanatisme buta.

Namun, sepanjang penyelenggaraan pemilu, apalagi pada 2014 dan 2019, realitas yang terjadi justru sebaliknya. Perpolitikan Indonesia masih sarat akan kefanatikan. Sikap ini datang dari para pendukung.

Winston Churcill pernah berkata, “seorang fanatik adalah orang yang tidak bisa mengubah pendapatnya dan tidak mau mengubah subyek pembicaraannya.”  

Perkataan mantan perdana menteri Britania Raya tersebut sesuai dengan fanatisme politik Tanah Air. Orang-orang yang kadung cinta buta pada sebuah parpol ataupun seorang tokoh politik cenderung menjadi antikritik.

Mereka juga tak segan merendahkan pilihan politik orang lain. Sikap ini yang pada akhirnya memicu berbagai debat kusir. Tak hanya itu, fanatisme politik di Indonesia juga telah menimbulkan keterbelahan alias polarisasi di tengah masyarakat.

Padahal, tak sedikit elit politik yang sering menyuarakan untuk menghentikan fanatisme buta akan pilihan politik demi menjaga kekondusifan Indonesia. Ajakan serupa juga turut disampaikan oleh Presiden Joko Widodo.

“Tidak usahlah kita terlalu (fanatik). Fanatisme membabi buta harus mulai kita tinggalkan, kita harus mulai demokrasi gagasan, demokrasi ide,” kata Jokowi dikutip dari Kompas.id, Kamis (18/8/2022).

Ia pun menekankan pentingnya menanamkan kebersamaan dan persaudaraan agar perpecahan yang ada segera hilang.

Anak muda harus apa?

Ketua Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak dalam berita Kompas.com mengatakan, fanatisme dari pendukung politik hanya memperparah cara berpolitik masyarakat Indonesia. Mirisnya, fenomena ini dialami oleh generasi muda.

Padahal, menurut hasil survei yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Pemilu 2024 diprediksi akan didominasi oleh pemilih muda, seperti milenial dan  generasi Z (gen-Z) dengan rentang usia 17-39 tahun.

Adapun proyeksi keikutsertaan mereka pada pesta demokrasi tersebut mencapai 60 persen.   

Temuan serupa juga didapati dalam hasil survei yang dilakukan tim Riset dan Analitik Kompas Gramedia (KG) Media bersama Litbang Kompas. Hasilnya, sebanyak 86,7 persen kaum milenial dan gen-Z bersedia berpartisipasi dalam pemilu.

Sementara itu, 10,7 persen kaum milenial dan Gen Z lainnya masih menimbang dan 2,6 persen sisanya menolak mengikuti ajang elektoral tersebut.

Melihat hal tersebut, sudah sepatutnya masyarakat, khususnya generasi muda menjaga diri dari paparan fanatisme buta.

Sebenarnya, hal tersebut bisa dihindari dengan melakukan hal-hal yang berkebalikan dari yang biasa dilakukan oleh pendukung fanatik.

Sebut saja, mengutamakan rasionalitas dalam memberi dukungan, menghargai pilihan politik orang lain, dan menerima segala kritik dan masukan terkait pilihan politik yang dijunjung. Selain itu, yang tak kalah penting adalah legawa ketika junjungan politik kalah.  

Jadi, siapkah kamu menjadi pendukung yang cerdas untuk Pemilu 2024?

Editor
Close Ads X